Wednesday, September 8, 2010

Mumi Wamena tak sekondang mumi Firaun mesir



Melihat Mumi Wim
Motok Mabel di
Distrik Kurulu,
Wamena
Mau Ambil Gambar,
Rp 25 Ribu Dulu
Banyak yang
bilang, belum ke
Papua bila belum
mengunjungi
Wamena. Tapi, tak
sedikit pula yang
bilang, belum ke
Wamena bila belum
melihat mumi.
Muslimin, Wamena
---
MUMI Wamena, bisa
jadi, tidak
sekondang mumi
para Firaun Mesir.
Namun, sensasinya
tak kalah kuat.
Apalagi,
pengunjung tidak
hanya bisa melihat
mumi berusia
ratusan tahun
tersebut.
Pengunjung juga
diizinkan untuk
berfoto dengan
mumi yang bentuk
beberapa organ
tubuhnya masih
tampak jelas itu.
Tak aneh, desa
tempat mumi
tersebut seolah
menjadi lokasi
yang wajib
dikunjungi oleh
siapa saja yang ke
Wamena. Sebut,
misalnya, Mumi
Wim Motok Mabel
di Desa Yiwika,
Distrik Kurulu,
Wamena, Papua.
Untuk mencapai
Wamena,
pengunjung dari
luar Papua harus
transit dulu di
Bandara Sentani,
Jayapura. Dari
Sentani, kita harus
menggunakan
pesawat udara lagi.
Sebab, sampai saat
ini jalur udara
itulah satu-satunya
cara yang bisa
ditempuh untuk
mencapai Wamena.
Tiket pesawat
Jayapura-Wamena
Rp 880 ribu per
orang. Tidak terlalu
mahal, mungkin.
Tapi,
mendapatkannya
tidak mudah.
Maklum, pesawat
yang tersedia
terbatas.
Setelah dapat tiket
pun, belum bisa
dipastikan kita
akan sampai di
Wamena. Masih
ada penentu lain.
Cuaca. Untuk
mencapai Wamena,
pesawat harus
melalui celah di
antara dua bukit.
"Bila cuaca sedang
tidak bagus
sehingga celah itu
berkabut, pesawat
biasanya kembali
ke Bandara
Sentani," tutur
seorang calon
penumpang di
Bandara Sentani.
Mendebarkan?
Mereka yang
gemar bertualang
mungkin
menganggapnya
mengasyikkan.
Tiba di Bandara
Wamena, tinggal
pilih, mau langsung
ke perkampungan
tempat mumi
berada atau
beristirahat dulu.
Bila mau langsung
menuju lokasi, kita
bisa
memanfaatkan
jasa taksi bandara.
Tarifnya Rp 100
ribu per jam atau
Rp 800 ribu per
hari. Bila
pengunjung ingin
beristrahat dulu, di
sekitar Bandara
ada hotel dan
penginapan. Tarif
terendah Rp 250
ribu per hari.
Perkampungan
mumi di Distrik
Kurulu, Jaya
Wijaya, berjarak
sekitar 30
kilometer atau 25
menit perjalanan
dari Kota Wamena.
Sepanjang
perjalanan, mata
seolah dimanjakan
dengan
pemandangan alam
terbuka yang
berbukit-bukit dan
menawan.
Lalu, wow! Sekitar
15 menit
perjalanan,
menjelang
memasuki desa
tempat mumi
berada, di kiri jalan
tampak bukit
dengan hamparan
putih di
sekelilingnya.
Salju? Bukan.
Hamparan putih itu
pasir. Tapi,
memang, pasir itu
terlihat putih
sekali.
Setelah 25 menit
perjalanan,
sampailah kita tiba
di kampung mumi.
Perkampungan itu
dihuni 20 kepala
keluarga. Di bagian
depan
perkampungan ada
pintu masuk yang
hanya dibuka saat
ada tamu.
Begitu kami masuk
halaman
perkampungan,
mereka langsung
menyambut kami
dengan ramah.
Yang perempuan
mengenakan sali
(rok dari kulit kayu)
, sedangkan yang
laki-laki memakai
koteka. Kesan
primitif sangat
terasa. Namun, ada
yang bilang bahwa
mereka sebetulnya
sudah berkain
seperti kita sehari-
hari. "Tapi, mereka
langsung buka baju
begitu tahu ada
pengunjung," kata
seorang teman
yang asli Wamena.
Lingkungan di
perkampungan itu
juga masih
terkesan alami. Di
kiri kanan tampak
honai, rumah
tempat warga
tinggal. Di salah
satu honai itulah
mumi Wim Motok
Mabel disimpan.
Mau melihat mumi?
Boleh. Tapi, harus
nego dulu sebelum
mereka mau
mengeluarkan
mumi tersebut dari
honai. "Ada
tarifnya. Biasanya
pengunjung harus
bayar Rp 25 ribu.
Katanya sih untuk
biaya perawatan,"
kata teman tadi.
Menurut Batu Logo,
salah seorang
warga yang tinggal
di perkampungan
tersebut, Mumi
Wim Motok Mabel
adalah generasi
ketujuh. Usianya
saat ini 368 tahun.
"Dia (Wim Motok
Mabel, Red) adalah
kepala suku
perang. Menurut
cerita orang tua
kami, sebelum
meninggal beliau
berpesan agar
mayatnya tidak
dibakar. Beliau
minta mayatnya
diawetkan agar
jasadnya bisa
dilihat generasi
berikutnya," kata
Batu Logo.
Meski telah berusia
368 tahun,
sebagian bentuk
tubuh mumi itu
masih sangat jelas.
Terutama kepala,
badan, dan kaki.
Bahkan, kotekanya
pun masih terlihat.
"Untuk menjaga
agar tidak rusak
termakan usia,
mumi itu dirawat
secara tradisional
dengan
pengasapan dan
pengolesan lemak
babi ke seluruh
tubuh mumi,"
terang Batu Logo.
Mau berfoto
bersama Mumi,
bisa. Tapi, lagi-lagi
ada tarifnya.
Bahkan, berfoto
dengan warga
setempat yang
mengenakan
pakaian tradisional
pun, kita harus
bayar. "Seorang Rp
5 ribu untuk sekali
jepretan," kata
Batu Logo.
Bahkan, di depan
salah satu honai,
tampak pondok
yang memajang
hasil kerajinan
tangan warga.
Kotega berbagai
jenis dan ukuran
terlihat
bergantungan di
sana. Ada juga
noken, kalung,
gelang, dan
beragam kerajinan
tangan lain.
Harganya juga
bervariasi. Tapi,
jangan dulu
berpikir "serbu",
serba lima ribu.
Kerajinan tangan di
kios suvenir itu
berharga Rp 50 ribu
hingga ratusan ribu
rupiah.

No comments:

Post a Comment